PT Danareksa (Persero), sebagai pengelola beberapa kawasan industri di Indonesia, menyambut positif rencana pemerintah membuka keran impor gas, sebagai salah satu upaya pengadaan gas untuk operasional kawasan industri.
Rencana tersebut akan tercantum dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri, yang diusulkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Direktur Utama Danareksa, Yadi Jaya Ruchandi, berharap rencana kebijakan itu dapat meningkatkan daya saing kawasan industri.
Adapun Danareksa memiliki beberapa anak usaha kawasan industri, yakni Kawasan Industri Medan (KIM), Jakarta Industrial Estate Pulogadung (JIEP), Kawasan Berikat Nusantara (KBN), Kawasan Industri Makassar (KIMA), Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER), dan Kawasan Industri Wijayakusuma (KIW) yang membawahi Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB).
“Kita sambut positif ya, kalau memang kebijakan pengadaan gas itu akan membuat kawasan industri kita itu kompetitif,” ujar Yadi saat ditemui awak media di KITB, dikutip Minggu (28/7).
Yadi menilai jika perusahaan dibolehkan mengimpor gas, itu juga akan lebih meningkatkan daya saing kawasan industri di tingkat regional, apalagi jika harga gasnya lebih murah daripada pengadaan di dalam negeri.
“Kita pastikan, misalnya, harga gas di luar negeri itu berapa, kalau di kita bagaimana, itu yang menjadi concern kami, bagaimana kita memastikan harga kami ini secara total cost kompetitif buat investor yang akan masuk ke kawasan industri kami,” tutur Yadi.
Rencana Impor Gas untuk Kawasan Industri
Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita membeberkan isi RPP gas bumi untuk kebutuhan domestik. RPP tersebut sudah mendapatkan lampu hijau dari Presiden Jokowi saat rapat terbatas (ratas) beberapa waktu lalu.
Salah satunya adalah terbukanya kesempatan bagi pengelola kawasan industri melakukan penyediaan dan penyaluran kebutuhan gas bumi bagi tenant-nya, termasuk melalui importasi.
“Nanti diberikan kesempatan kewenangan oleh PP tersebut untuk melakukan impor gas, tapi batasannya hanya boleh untuk service, untuk mendatangkan gas bumi sebagai bahan baku bagi tenant masing-masing dan mendatangkan gas bumi untuk memproduksi listrik di kawasan industri,” ungkap Agus saat Launching PP No 20 Tahun 2024 tentang Perwilayahan Industri, dikutip Minggu (28/7).
Seiring dengan digodoknya beleid tersebut, Agus meminta para pengelola mempersiapkan infrastruktur, baik itu melalui investasi mandiri maupun berbentuk konsorsium alias menggandeng pihak ketiga.
Di sisi lain, Agus menekankan bahwa pemerintah bukan mewajibkan pengelola kawasan industri mengimpor gas, namun hanya sebagai pilihan tergantung ketersediaan pasokan gas bumi dalam negeri dan fluktuasi harga.
“Belum tentu kawasan industri melakukan importasi, belum tentu. Kalau harga gas bumi dalam negeri lebih baik, kalau harga gas bumi dalam negeri lebih kompetitif dan kalau suplainya sustain, pasti kawasan industri tidak akan impor. Untuk apa impor? kalau harga lebih baik dan suplainya sustain,” tuturnya.
Agus menyebutkan, butuh 2 tahun memperjuangkan RPP gas bumi yang pada dasarnya akan mengatur pengolahan gas bumi untuk kepentingan industri dan sumber energi domestik.
Selain terkait importasi gas bumi untuk kawasan industri, RPP tersebut juga mengatur beberapa hal lain, seperti kelanjutan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) beserta harga di titik wellhead (kepala sumur) dan plant gate (titik serah).
Kemudian, Agus juga memastikan akan ada kewajiban pemenuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) sebesar 60 persen untuk industri manufaktur dan ketenagalistrikan.
Pasalnya, Agus mencatat produksi gas nasional saat ini yang dialokasikan untuk industri manufaktur temasuk pupuk itu baru 40 persen di tahun ini, sementara proyeksi pertumbuhan gas bumi untuk maunfaktur di tahun 2030 itu akan meningkat 2 kali lipat.
“Kami kekeuh dan Alhamdulillah disetujui juga oleh bapak presiden, yaitu sebuah game changer bagi pengolahan gas bumi nasional khususnya akan diperuntukan bagi idnsutri manufaktur dan kelistrikan,” tutur Agus.