Kembalinya Donald Trump ke panggung debat pemilu Amerika Serikat memaksa media-media di sana memperkuat barisan tim cek fakta mereka. Sebab, dalam debat pertamanya melawan Joe Biden pada akhir Juni lalu, Trump mengeluarkan serangkaian klaim yang dianggap penuh distorsi dan kebohongan.
Dikutip dari AFP, sejumlah organisasi pemeriksa fakta telah melakukan persiapan intensif selama berminggu-minggu guna mengantisipasi debat antara Trump dan Wakil Presiden Kamala Harris yang akan berlangsung Selasa (10/9) malam waktu setempat.
Debat ini akan menjadi satu-satunya adu argumen sebelum pemilu pada 5 November mendatang.
Meskipun perhatian publik akan tertuju pada Trump, Kamala Harris yang mewakili Partai Demokrat juga tidak luput dari sorotan.
Dia akan menghadapi pengawasan ketat terkait rekam jejak pemerintahan Joe Biden di Gedung Putih, serta agenda kebijakan pribadinya sebagai calon presiden.
Sebelumnya CNN sempat dikritik karena tak langsung memberikan koreksi saat Trump menyampaikan klaim palsu dalam debat pertama.
Menurut pemeriksa fakta internal CNN, Trump membuat lebih dari 30 pernyataan salah, termasuk klaim tidak berdasar bahwa negara bagian yang dipimpin Demokrat mengizinkan eksekusi bayi setelah lahir.
Di sisi lain, performa buruk Biden dalam debat tersebut membuat pejabat Demokrat mendorongnya mundur dari pencalonan.
Media seperti AFP dan New York Times mengalokasikan sumber daya besar untuk memeriksa fakta debat dan berencana untuk melakukannya lagi pekan depan.
New York Times mengerahkan 29 reporter untuk memeriksa fakta dalam debat Juni lalu, jumlah yang lebih banyak dibandingkan dengan debat pertama Trump pada 2016 melawan Hillary Clinton.
Situs pemeriksa fakta AS, PolitiFact, juga menyiapkan 27 jurnalis untuk meliput acara tersebut.
“Ini merupakan tim terbesar yang pernah ada,” ungkap Pemimpin Redaksi PolitiFact, Katie Sanders, seperti dikutip dari AFP.
Sanders menjelaskan bahwa debat menjadi momen dengan pembaca tertinggi di situs mereka, dan ini merupakan kesempatan bagi pemilih untuk mendapatkan pemeriksaan fakta yang akurat.
Dikutip dari AFP, Profesor Emeritus di Universitas Northeastern, Alan Schroeder, mengatakan tidak pernah ada kandidat presiden selain Trump yang dengan sengaja menggunakan kebohongan sebagai strategi kampanye.
Menurutnya, dalam debat Trump membanjiri dialog dengan begitu banyak ketidakbenaran sehingga sulit untuk memberikan koreksi atau konteks secara langsung.
“Setiap waktu yang dihabiskan untuk membantah atau mengklarifikasi klaim yang keliru adalah waktu yang tidak dihabiskan untuk membahas isu-isu yang lebih substansial,” kata Schroeder.
Meski penuh tantangan, para pakar dan pemeriksa fakta sepakat bahwa upaya ini tetap penting.
“Ini adalah layanan publik kami sebagai jurnalis untuk memberikan informasi yang benar kepada publik,” ujar kepala pemeriksa fakta di Washington Post, Glenn Kessler.
Namun, menurut Kessler, pada kenyataannya setiap kandidat presiden mungkin berbohong.
Eksplorasi konten lain dari LAMPUNG 7
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.