LAMPUNG7COM – Mantan Presiden Ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) angkat bicara soal pasal pencemaran yang kembali akan dihidupkan pemerintah Joko Widodo.
SBY menilai demokrasi dan kebebeasan penting namun jangan melampaui batas.
“Demokrasi juga perlu tertib, tapi negara tak perlu refresif,” kata SBY dalam akun Twitter resminya, @SBYudhoyono, Minggu, 9 Agustus 2015.
Selama 10 tahun menjabat presiden, SBY mengaku ada ratusan perkataan dan tindakan yang menghina, tak menyenangkan, dan mencemarkan nama baginya.
“Foto resmi Presiden dibakar, diinjak2, mengarak kerbau yg pantatnya ditulisi “SBY” & kata2 kasar penuh hinaan di media & ruang publik *SBY*,” kenang SBY dalam akunnya.
Andai SBY menggunakan haknya untuk mengadukan ke polisi, dia memperkirakan akan ada ratusan orang diperiksa dan dijadikan tersangka.
“Barangkali saja juga justru tidak bisa bekerja, karena sibuk mengadu ke polisi. Konsentrasi saya akan terpecah,” katanya.
Dari pengamatannya, SBY mengatakan tindakan-tindakan penghinaan semacam itu sudah hampir tidak ada. Unjuk rasa disertai penghinaan kepada presiden, maupun berita kasar di media menurut SBY sudah tak ada.
“Ini pertanda baik. Perlakuan “negatif” berlebihan kpd saya dulu tak perlu dilakukan kpd Pak Jokowi. Biar beliau bisa bekerja dgn baik,” kata SBY.
Dengan sistem demokrasi, setiap penduduk memang diakui bebas melakukan kritik termasuk kepada presiden. Namun hal itu tidak harus dilakukan dengan menghina dan mencemarkan nama baiknya.
Sebaliknya, presiden juga bisa menunaikan haknya untuk menuntut seseorang yang menghina dan mencemarkan nama baiknya. “Tapi janganlah berlebihan,” ujar SBY.
Seraya berpesan pasal penghinaan, pencemaran nama baik, dan tidak tidak menyenangkan tetap ada karetnya. Artinya, ada unsur subyektivitasnya. [drm]