JAKARTA – Ketua KPK yang baru, Setyo Budiyanto, memberikan penjelasan terkait tindakan lembaga antirasuah yang memeriksa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pejabat setelah kasus-kasus tertentu viral di media sosial.
Pemeriksaan dan analisis LHKPN pejabat oleh KPK menjadi sorotan setelah kasus mantan pejabat Ditjen Pajak Rafael Alun Trisambodo, yang dijerat KPK sebagai tersangka gratifikasi dan pencucian uang. Kasus Rafael Alun ini menjadi yang pertama kali diusut oleh KPK berdasarkan analisis LHKPN.
Kasus ini berawal dari peristiwa penganiayaan yang dilakukan oleh anak Rafael, Mario Dandy, yang kemudian viral di media sosial. Mario Dandy juga dikenal sering memamerkan kekayaannya di media sosial, sehingga memicu perhatian publik. Akibatnya, sejumlah pejabat lainnya turut diperiksa LHKPN-nya oleh KPK, karena ada indikasi ketidakberesan dalam pelaporan harta mereka. Beberapa di antaranya termasuk eks Kepala Bea Cukai Makassar Andhi Pramono dan mantan Kepala Bea Cukai Yogyakarta Eko Darmanto.
Fenomena viral ini memunculkan anggapan bahwa KPK hanya bertindak setelah kasus tersebut menjadi sorotan publik, yang dikenal dengan istilah “no viral no justice”. Setyo Budiyanto pun memberikan klarifikasi terkait hal ini. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan meninjau kembali bagaimana proses pemeriksaan dan penanganan LHKPN selama ini dilakukan.
“LHKPN, no viral no justice, kami akan kaji kembali apa yang telah dilakukan oleh direktorat dan Kedeputian Pencegahan, termasuk juga kasus-kasus yang tidak sesuai dengan harapan,” ujar Setyo dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (20/12).
Setyo melanjutkan, KPK akan menyesuaikan penanganan kasus LHKPN berdasarkan alat bukti yang ada dan hasil ekspose yang dilakukan oleh Kedeputian Penindakan. “Nanti kita akan kaji kembali penanganannya seperti apa, sesuai dengan alat buktinya,” tambahnya.
Sejak kasus Rafael Alun, pengusutan kasus berdasarkan LHKPN menjadi salah satu langkah baru yang diambil KPK untuk membongkar tindakan korupsi pejabat.
Terbaru, KPK juga melakukan analisis terhadap LHKPN yang dilaporkan oleh Kepala Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Kalimantan Barat, Dedy Mandarsyah. Dedy menjadi sorotan setelah namanya terlibat dalam kasus penganiayaan seorang dokter koas di Palembang. Dedy, yang merupakan ayah dari mahasiswi koas Lady Aurelia Pramesti, diduga terlibat dalam kasus ini melalui sopirnya, Fadillah alias Datuk, yang menganiaya dokter Muhammad Luthfi.
LHKPN Dedy menjadi perhatian karena diduga ada ketidaksesuaian antara laporan yang disampaikan dengan nilai kekayaan yang sebenarnya. KPK pun sedang mengecek kebenaran laporan tersebut.
“Proses pemeriksaan ini termasuk analisis terkait kebenaran atas harta atau aset yang dilaporkan, serta aset lain yang mungkin belum dilaporkan,” ungkap juru bicara KPK, Budi Prasetyo, pada Selasa (17/12).
Dalam laporan terakhir yang disampaikan Dedy pada 14 Maret 2024, ia melaporkan kekayaan senilai Rp 9,4 miliar, yang mencakup tiga rumah di Jakarta Selatan senilai Rp 750 juta, sebuah mobil Honda CR-V, serta sejumlah aset lainnya.
Sejak pertama kali melaporkan LHKPN pada 2016, kekayaan Dedy Mandarsyah terus mengalami peningkatan. Berikut rinciannya:
- Tanah dan Bangunan Seluas 33.8 m2/33.8 m2 di Kab/Kota Jakarta Selatan (Hasil Sendiri): Rp 200.000.000.
- Tanah dan Bangunan Seluas 33.8 m2/33.8 m2 di Kab/Kota Jakarta Selatan (Hasil Sendiri): Rp 200.000.000.
- Tanah dan Bangunan Seluas 36 m2/36 m2 di Kab/Kota Jakarta Selatan (Hasil Sendiri): Rp 350.000.000.
Dedy pun tercatat memiliki satu unit mobil Honda CR-V tahun 2019 senilai Rp 450 juta. Status aset tersebut adalah hadiah. Selain itu, ia juga memiliki sejumlah aset lainnya, yakni:
- Harta Bergerak Lainnya: Rp 830.000.000.
- Surat Berharga: Rp 670.700.000.
- Kas dan Setara Kas: Rp 6.725.751.869.
Total: Rp 9.426.451.869.
Merujuk situs KPK, ada total 8 LHKPN yang pernah dilaporkan oleh Dedy Mandarsyah. Kekayaan Dedy terus mengalami peningkatan setiap tahunnya.
Berikut rinciannya:
- LHKPN Periodik 2016: Rp 4.846.567.697
- LHKPN Periodik 2018: Rp 6.232.108.525
- LHKPN Periodik 2019: Rp 6.443.113.598
- LHKPN Periodik 2020: Rp 6.988.995.829
- LHKPN Periodik 2021: Rp 8.170.600.180
- LHKPN Periodik 2022: Rp 8.915.130.867