‘Masker’ Versus Virus Demokrasi [Opini]

Oleh: H. A. Darwin Ruslinur

TAMPAK nyeleneh memang ketika orang sudah kehabisan akal mengatasi virus pesta demokrasi dengan ‘masker’. Kata ‘masker’ disini adalah akronim dari: Masyarakat Kritis, bukan masker seperti yg dipakai saat virus covid 19 melanda dunia beberapa waktu lalu.

Virus musiman yang muncul setiap lima tahun sekali pada pesta demokrasi Pemilihan Umum (Pemilu) atau sekarang kita perjelas dengan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), memang kini mulai mewabah dan terlihat dengan kasat mata. Pilkada sendiri akan digelar pada 27 Nopember mendatang.

Mewabahnya virus dengan wujud money politik pada pesta demokrasi, dalam istilah kesehatan biasa disebut Kejadian Luar Biasa (KLB). Dalam bahasa hukumnya extraordinary atau kejahatan luar biasa. Perkara yang butuh proses waktu lumayan lama dalam pembuktiannya di pengadilan.

Kita akui guna mencegah mewabahnya virus money politik atau politik uang ini, negara hadir dengan beragam regulasi cukup tegas yang diatur di dalam UU nomor 10 tahuh 2016 tentang perubahan kedua atas UU nomor 1 th 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU nomor 1 th 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi UU didalam psl 73 ayat (1) yang berbunyi:

Calon dan atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan atau pemilih.

Fakta dilapangan virus perusak itu selalu muncul pada setiap pesta demokrasi. Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) di semua tingkatan yang bertugas melakukan pengawasan, nyaris tak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Disinilah perlunya keterlibatan masyarakat untuk cerdas dalam melihat fenomena ini, dengan cara terus mengkritisi manakala mengetahui ada peristiwa money politik.

Waskat atau pengawasan melekat masyarakat pada setiap pesta demokrasi masih sangat dibutuhkan. Mencegah mewabahnya virus itu adalah kebutuhan. Tidak saja menjadi tugas panwas, tetapi juga tugas para ‘masker’ alias masyarakat yang kritis, karena dalam demokrasi keberagaman dalam memilih adalah kekayaan bukan kelemahan.

Cost politik,
——————–
Dalam setiap kontestasi politik tentu saja ada cost politik, harga atau biaya yang harus dikeluarkan untuk berpolitik. Misalnya, biaya konsumsi pada sa’at kampanye, transportasi, pertemuan tatap muka, dialog, dan alat peraga. Ini cost yg legal tidak termasuk money politik.

Terkecuali, kalau misalnya pasangan petahana menggunakan dana APBD untuk kegiatan program ibadah Umroh dengan janji bilamana kembali mencalonkan diri harus memilihnya lagi. Hal seperti ini dapat berimplikasi hukum, karena memanfaatkan uang rakyat untuk kepentingan pribadinya.

Semangat program kegiatan ibadah Umroh melalui APBD adalah membantu masyarakat yang kurang mampu untuk mempertebal iman dan taqwanya kepada Allah SWT. Bukan untuk kepentingan politik Bupati/Walikota atau Gubernur.

Apalagi, andaikan seluruh warga yang pernah mengikuti ibadah umroh kembali dikumpulkan untuk menyatukan pilihan. Kita berharap hal seperti ini tidak terjadi di semua daerah yang menyelenggarakan pesta demokrasi, khususnya di Provinsi Lampung.

Bilamana hal demikian terjadi, saatnyalah para ‘masker’ tidak tinggal diam dan harus terus mengkritisinya. Pasalnya, dana yang digunakan untuk membiayai program kegiatan ibadah Umroh ini adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang berarti merupakan uang rakyat yang harus dipertanggungjawabkan.

Tidak dibenarkan Kepala Daerah/Gubernur, Bupati/Walikota memanfaatkan APBD untuk prevelensi kepentingan pribadinya dalam kontestasi Pilkada.

Kita berharap Pilkada khususnya di Provinsi Lampung dapat berlangsung aman, nyaman dan tertib. Perangkat Kel/Desa, PNS, TNI dan Polri, harus netral tidak menunjukkan keberpihakan kepada salah satu pasangan calon.

Terciptanya Pemilukada Luber, langsung, umum bebas dan rahasia adalah kebutuhan. Semoga….

Tulis Komentar Anda