Perkembangan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di Indonesia telah mengalami perjalanan panjang sejak akhir 1980-an. Berawal dari penelitian dasar di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Universitas Indonesia (UI), teknologi AI terus berkembang seiring majunya komputasi, internet, dan kebijakan nasional yang mendukung inovasi digital sejak 2020. Kini, AI diterapkan dalam beragam sektor mulai dari industri, kesehatan, pendidikan, pelayanan publik, hingga tata kelola pemerintahan.
Meski memberikan manfaat besar dalam meningkatkan efisiensi dan inovasi, pertumbuhan AI yang pesat memunculkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan global, khususnya pada konsumsi air, energi, dan emisi karbon yang dihasilkan pusat data sebagai tulang punggung teknologi ini.
Tekanan Konsumsi Air Global akibat Pengoperasian AI
Penggunaan AI dalam skala besar mengandalkan pusat data (data center) yang membutuhkan sistem pendinginan intensif agar server tidak mengalami overheating. Untuk menjaga kestabilan suhu, sebagian pusat data menggunakan air dalam jumlah sangat besar.
Di beberapa wilayah seperti Virginia, Amerika Serikat, konsumsi air oleh pusat data mencapai miliaran galon per tahun, dan angka ini terus meningkat seiring bertambahnya kapasitas komputasi. Secara global, kebutuhan air untuk mendukung AI diperkirakan telah mencapai ratusan miliar liter.
Lonjakan konsumsi air tersebut menimbulkan tekanan pada sumber daya air, terutama di daerah yang mengalami krisis air bersih. Selain itu:
-
Air digunakan bukan hanya untuk pendinginan, tetapi juga untuk proses produksi energi listrik yang menggerakkan pusat data.
-
Ketergantungan industri AI pada air berpotensi memperburuk kelangkaan air jika tidak dikelola secara berkelanjutan.
Para pakar menilai, tanpa inovasi efisiensi, AI berisiko menjadi sektor industri dengan kebutuhan air terbesar dalam dua dekade mendatang.
AI sebagai Kontributor Emisi Karbon Global

Selain konsumsi air, emisi karbon menjadi ancaman terbesar dari ekspansi teknologi AI.
Pusat data yang menjalankan model AI besar—seperti GPT dan model multimodal lainnya—mengoperasikan ribuan server yang berjalan 24 jam sehari. Proses pelatihan model AI berskala besar bahkan dapat menghabiskan energi setara konsumsi listrik 130 rumah tangga selama satu tahun.
Energi yang tinggi ini memicu emisi karbon dalam jumlah besar, terutama karena sebagian besar pasokan listrik global masih bersumber dari bahan bakar fosil.
Dampak lingkungan yang ditimbulkan:
Dampak Jangka Pendek
-
Peningkatan polusi udara
-
Penurunan kualitas udara
-
Risiko gangguan kesehatan masyarakat
Dampak Jangka Panjang
-
Percepatan perubahan iklim
-
Pencairan es di kutub
-
Kenaikan permukaan laut
-
Perubahan cuaca ekstrem
-
Ancaman pada ekosistem dan keanekaragaman hayati
International Energy Agency (IEA) memperkirakan konsumsi listrik global untuk pusat data akan melonjak dua kali lipat menjadi 945 TWh pada 2030, jumlah yang setara dengan konsumsi listrik negara Jepang. Angka ini menunjukkan betapa beratnya beban energi yang dibutuhkan untuk menopang perkembangan AI.
Kebutuhan SDM AI yang Tangguh dan Berwawasan Lingkungan
Selain tantangan energi dan air, Indonesia perlu menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten agar AI dapat dikembangkan dan digunakan secara bijak.
SDM AI berperan penting untuk:
-
Mengoptimalkan algoritma agar lebih efisien
-
Mengurangi beban energi pusat data
-
Mengintegrasikan kecerdasan buatan dengan sistem industri hijau
-
Memastikan penggunaan AI berjalan etis, aman, dan bertanggung jawab
-
Merancang solusi teknologi yang mendukung keberlanjutan lingkungan
SDM yang kuat akan menjadi faktor utama dalam mengimbangi risiko yang ditimbulkan teknologi berdaya komputasi tinggi.
Kolaborasi untuk Masa Depan AI Berkelanjutan
Beragam perusahaan teknologi global mulai memperkenalkan inovasi untuk menekan dampak lingkungan AI, di antaranya penggunaan energi terbarukan, sistem pendinginan hemat energi, hingga algoritma efisien yang membutuhkan lebih sedikit daya komputasi.
Namun, upaya semacam ini harus diperkuat melalui kolaborasi lintas sektor:
-
Pemerintah perlu membuat regulasi energi, air, dan limbah elektronik yang adaptif.
-
Industri teknologi wajib mengadopsi standar operasi ramah lingkungan.
-
Masyarakat global didorong untuk meningkatkan kesadaran penggunaan teknologi yang bertanggung jawab.
Teknologi AI tidak dapat dihentikan—namun bisa diarahkan menuju penggunaan yang lebih bijak dan berkelanjutan, sehingga membawa manfaat luas tanpa merusak lingkungan hidup.