Mang Kanon dengan Secangkir Kopi Manis Tanpa Merek

Setiap pagi, dimulai sekitar pukul 06.45 waktu kampung Sukamusukaku, saat ayam masih ngumpet di balik kandang karena belum sempat mandi, Mang Kanon sudah nongkrong manis di depan warung kopi Bang E’em, lengkap dengan jaket ojek kebanggaannya yang warnanya udah pudar dari abu-abu tua jadi abu muda, karena terlalu sering kena matahari dan angin, serta sudah menyerap seluruh perjuangan hidup, keringat, gorengan, dan sedikit sisa balsem gosok.

Sambil nyeruput kopi gratisan tanpa merek, Mang Kanon duduk di pojok bangku kayu yang kalau didudukin bunyinya, “kreekk,” seolah bangku itu juga capek jadi saksi hidup.

Bang E’em, sang pemilik warung, biasa keluar sambil usap-usap perut (yang alasannya klasik, sedang mules), membawa nampan berisi donat yang dijual sejak zaman awal Reformasi dan tahu gunting yang lebih banyak anginnya daripada pisangnya.

“Gimana cerita, Bang,” sapa Mang Kanon.

“Gimana apanya Non. Ngopi geh?”

“Iya. Tapi hari ini tolong tambahin rasa harapan.”

Mang Kanon tiap hari nungguin dua hal penting, yaitu penumpang ojek, yang biasanya lebih langka dari unicorn. Dan Teh Euis, istri Bang E’em, yang sejak jadi TKW nggak pernah kirim kabar kecuali kiriman foto diajak nemenin majikan jalan-jalan dan status WA yang isinya “lagi di dapur sedang masak.”

“Bang, udah dapet kabar dari Teh Euis?”

“Belum, Non. Terakhir cuma kirim emoji lope-lope sama semangka.”

Sambil seruput kopi gratisan, datang teman gibah, Kang Muji, alumni SMA Bintang Bunda (sekolah swasta favorit di Kampung Sukamusukaku) yang sekarang kerja serabutan, pagi tandang daun pisang, siang jadi makelar jual beli motor, sore kirim daun ke pelanggan, tukang tempe dan malam jadi komentator politik di grup WhatsApp kampung.

Mang Kanon, Bang E’em, dan Kang Muji adalah trio penganalisis politik kampung yang nggak ada tandingannya.

“Saya kemarin liat berita kades kita dapet penghargaan dari lembaga ternama,” kata Kang Muji.

“Penghargaan apa?” tanya Mang Kanon curiga.

“Penghargaan paling rajin posting TikTok dan Facebook tentang program desa.” Jawabnya.

Mang Kanon ngelus dada. “Itu mah bukan prestasi, itu konten…”

Diskusi berlanjut, dan topik hari itu adalah apakah pemimpin desa mereka sekarang beneran niat membangun, atau cuma sibuk bagi-bagi jabatan ke alumni SMA Bintang Bunda?

Apakah benar isu jual beli jabatan cuma mitos, atau sebenarnya transaksi warung kopi udah jadi tempat interview?

Dan yang paling penting, Kenapa pisang goreng Bang E’em makin lama makin kecil ukurannya?

“Saya perhatiin, alumni SMA Bintang Bunda tuh mendadak banyak jadi pejabat kampung. Yang dulu waktu upacara baris paling belakang, sekarang malah jadi Kepala Dusun, dan ada juga yang duduk di kantor camat.”

Mang Kanon mencatat semua ini di buku kecilnya yang sudah sobek-sobek dan ada beberapa berca bekas keringat. Dia bilang itu “jurnal rakyat kecil”, siapa tahu nanti Mang Kanon bikin buku, judulnya, “Dari Ojek ke Oposisi: Perjalanan Pemikir Jalanan.”

Di sela-sela diskusi politik yang makin liar dan tak berdasar (tapi sangat logis dalam konteks kampung), Mang Kanon tetap menatap langit. Bukan sedang ngitung awan, tapi sedang berharap Teh Euis pulang.

“Bang E’em, abang yakin Teh Euis masih inget sama abang?”

“Yakin lah, Non. Dia bilang, ‘Tunggu aku, aku bakal pulang bawa oleh-oleh keju Itali.’”

“Yang penting jangan bawa oleh-oleh suami baru,” celetuk Mang Kanon.

Bang E’em hanya bisa tertawa getir.

Tapi semua yang nongkrong di warung itu tahu, harapan adalah bahan bakar utama hidup di kampung.
Kadang bukan nasi yang bikin kenyang, tapi harapan dan secangkir kopi manis panas.

Siang hingga sore hari, penumpang ojek tak kunjung datang. Teh Euis tak kunjung pulang. Tapi obrolan tentang politik kampung terus bergulir.

“Kalian yakin kades kita nggak jual jabatan?,” tanya Mang Kanon.

“Kalo nggak dijual, minimal disewain…,” celetuk Kang Muji.

“Makanya, mending kita bikin partai aja. Partai Ojek Rakyat Sejahtera.” Tambah Kang Muji, dan semua tertawa.

Tapi dari tawa itu, ada satu hal yang nyata, bahwa di balik lelucon receh dan ngawur, ada cinta yang tak usang terhadap kampung, terhadap negeri, dan terhadap perubahan.

Mereka menamakan diri adalah barisan rakyat kecil yang tak pernah lelah berharap. Entah itu berharap kampungnya maju, atau Teh Euis pulang bawa oleh-oleh dan cerita keluarga majikan.

Yang jelas, mereka akan tetap duduk di situ, dengan segelas kopi dan segunung keresahan yang dikemas tawa.

Dan itu… mungkin jauh lebih penting daripada semua janji kampanye.

Cerita Fiktif

Oleh: Jeffri Noviansyah
Pemimpin Redaksi Lampung7.com

Tulis Komentar Anda