JAKARTA – Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) memperluas strategi hilirisasi nikel dengan menyasar pasar kendaraan listrik (EV) merek Eropa. Langkah ini menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia siap memainkan peran sentral dalam rantai pasok elektrifikasi global.
“Nikel yang jadi bahan baku kita itu cocok untuk Eropa. Jadi pasar ekspor untuk EV berbasis nikel, kita dorong ke sana,” ujar Asisten Deputi Pengembangan Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, Elektronika, dan Aneka Kemenko Perekonomian, Atong Soekirman, di Jakarta, belum lama ini.
Mayoritas mobil listrik Eropa diketahui menggunakan baterai berbasis nikel karena memiliki densitas energi tinggi, menjadikannya ideal untuk kendaraan premium berperforma tinggi seperti Porsche Macan, Volkswagen ID. Buzz, Volvo EX40, Mercedes-Benz EQS, hingga BMW iX.
Beberapa model yang telah dilokalisasi di Indonesia seperti Hyundai Kona EV dan Toyota Kijang Innova Zenix Hybrid juga mengadopsi teknologi serupa.
“Untuk baterai LFP, kita hampir tidak punya bahan baku. Karena itu, sebagian EV berbasis nikel akan lebih diarahkan ke pasar ekspor,” jelas Atong.
Nikel Jadi Kunci Indonesia Masuki Peta Besar Ekosistem EV Dunia
Pakar baterai dan Founder National Battery Research Institute (NBRI), Evvy Kartini, menilai strategi hilirisasi nikel sebagai langkah logis untuk memperkuat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) serta memaksimalkan nilai tambah ekonomi nasional.
“Kita punya riset dan potensi besar di nikel, tapi mobil yang datang justru banyak berbasis LFP. Itu tidak sejalan. Insentif seharusnya difokuskan untuk kendaraan yang pakai baterai nikel,” tegas Evvy.
Menurutnya, pemanfaatan nikel Indonesia selama ini belum optimal karena sebagian besar masih diekspor dalam bentuk bahan baku mentah seperti Mixed Hydroxide Precipitate (MHP).
“Nikel kita baru sampai tahap ferronikel dan MHP, nilai tambahnya baru 10 kali. Kalau bisa naik ke tahap nikel sulfate, bisa 15 kali. Jadi precursor 30 kali, katoda 55 kali, sel baterai 150 kali, dan kalau jadi mobil listrik bisa 355 kali,” paparnya.
Dengan mendorong pengolahan hingga tahap katoda dan sel baterai, Evvy yakin Indonesia bisa bertransformasi dari sekadar pemasok bahan mentah menjadi pusat industri baterai global.
“Kalau pemerintah berani hentikan ekspor MHP dan wajibkan pengolahan lanjutan, Indonesia bisa jadi produsen katoda terbesar di dunia. Rantai pasok dari tambang, material, hingga baterai jadi bisa terkonsolidasi di dalam negeri,” tegasnya.
Strategi hilirisasi ini dipandang sebagai titik balik penting dalam ambisi Indonesia menjadi kekuatan utama ekosistem kendaraan listrik dunia — bukan hanya sebagai penyedia nikel mentah, melainkan sebagai produsen teknologi bernilai tinggi bagi masa depan transportasi global.