TEHERAN – Kepemimpinan Iran tengah menghadapi ancaman serius di tengah tekanan ekonomi dan politik yang kian meningkat. Para petinggi negeri para ulama itu kini dihadapkan pada dilema besar: mempertahankan prinsip revolusi Islam 1979 atau menuruti tuntutan Barat demi menyelamatkan ekonomi yang nyaris kolaps.
Menurut laporan Reuters, pembicaraan antara Iran dan negara-negara Barat mengenai program nuklir kembali menemui jalan buntu pada Sabtu (27/9). Akibatnya, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memutuskan melanjutkan sanksi ekonomi terhadap Teheran.

Empat pejabat senior Iran dan dua sumber pemerintahan menyebut, kebuntuan diplomasi ini berpotensi menjerumuskan Iran ke dalam krisis kepemimpinan.
“Para ulama kini terjebak di posisi sulit. Republik Islam terancam, sementara rakyat tak sanggup lagi menghadapi tekanan ekonomi,” ungkap salah satu pejabat Iran.
Kekhawatiran itu kian besar karena kebuntuan diplomasi dapat memicu serangan militer baru. Israel disebut siap menyerang fasilitas nuklir Iran, apalagi mendapat dukungan terbuka dari Amerika Serikat.
“Kemungkinan perang baru sangat nyata. Israel tetap agresif dan didukung AS,” ujar mantan anggota parlemen Iran, Gholamali Jafarzade.
Sebelumnya, Inggris, Prancis, dan Jerman menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran sejak 28 Agustus 2025. Ketiga negara menuduh Teheran melanggar perjanjian nuklir 2015. Negosiasi lanjutan di sela Sidang Umum PBB pun berakhir tanpa kesepakatan.
Sementara Barat menuding Iran diam-diam membangun senjata nuklir, Teheran menegaskan programnya hanya untuk kepentingan energi damai.
Rakyat Iran di Bawah Tekanan
Di sisi lain, warga Iran mulai kehilangan kesabaran terhadap tekanan ekonomi yang semakin berat.
“Kami sudah berjuang bertahun-tahun untuk bertahan hidup. Sanksi baru berarti penderitaan baru,” kata Shima, seorang guru sekolah dasar kepada Reuters.
Inflasi di Iran kini melambung hingga 40%, bahkan beberapa analis memperkirakan sudah menembus 50%. Harga pangan, properti, hingga kebutuhan dasar melonjak tajam dalam beberapa bulan terakhir.
Selama ini, Iran masih bisa bertahan berkat kerja sama dagang dengan China, yang menjadi pembeli utama minyak Iran. Namun dengan sanksi baru dari PBB, ekspor minyak itu pun terancam.
Situasi ini menempatkan para pemimpin Iran dalam posisi genting—antara mempertahankan ideologi anti-Barat atau menyelamatkan rakyat dari krisis ekonomi yang semakin mencekik.