Lumpuh dan Buta di Rumah Kayu Reyot, Yasin Sang Pahlawan Devisa Kini Hidup dalam Sunyi

TANGGAMUS – Di balik rumah kayu yang lapuk di Pekon Sudimoro Induk, Kecamatan Semaka, tersimpan kisah pilu seorang mantan Pahlawan Devisa yang kini hidup dalam keterbatasan. Yasin (60), mantan Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal Tanggamus, kini hanya bisa duduk pasrah di kursi plastik tua, tubuhnya kaku karena stroke, matanya buta, dan harapannya kian meredup seiring usia.

Selama bertahun-tahun, Yasin menghabiskan masa mudanya di Malaysia, bekerja keras demi keluarga dan turut menyumbang devisa bagi negara. Namun, sekembalinya ke tanah air di akhir tahun 2024, nasib justru berkata lain. Serangan stroke menghantam tubuhnya, disusul kebutaan akibat komplikasi penyakit gula darah yang sempat melonjak hingga angka 600.

Kini, di usia senja, ia tinggal di rumah reyot berdinding papan dengan atap asbes yang nyaris roboh — jauh dari kata layak bagi sosok yang pernah menjadi tulang punggung keluarga dan kebanggaan negeri.

“Siapa lagi yang mau merawatnya? Istri tidak ada, anak kerja jauh di Jogja,” tutur Lukman, adik kandung Yasin, dengan mata berkaca-kaca. Ia mengaku hanya bisa merawat seadanya karena keterbatasan ekonomi.

Harapan di Tengah Kegelapan

Meski raganya lumpuh dan pandangan matanya telah sirna, Yasin masih menyimpan seberkas asa. Suaranya lirih saat berbicara, seolah menggantungkan hidup pada secercah harapan terakhir.

“Saya ingin bisa dirawat di rumah sakit. Siapa tahu masih bisa sehat lagi, bisa kerja, nggak merepotkan adik,” ucap Yasin sambil mengusap air mata yang tak bisa lagi ia lihat.

Kalimat sederhana itu menggambarkan keinginan tulus seorang lansia untuk kembali mandiri dan bermartabat, meski dunia kini tampak gelap baginya.

Panggilan Kemanusiaan: Jangan Biarkan Pahlawan Ini Terlupakan

Kisah Yasin menjadi potret nyata tentang bagaimana seorang pejuang ekonomi bangsa bisa terpinggirkan di masa tuanya. Ia adalah simbol pengorbanan tanpa pamrih bekerja di negeri orang, demi keluarga dan bangsa, namun kini berjuang sendirian melawan penyakit dan keterbatasan.

Situasi ini menjadi panggilan nurani bagi semua pihak, baik masyarakat, dermawan, maupun pemerintah untuk turun tangan membantu. Dinas Sosial Kabupaten Tanggamus diharapkan dapat segera menindaklanjuti agar Yasin mendapatkan perawatan medis dan bantuan sosial yang layak.

Sekecil apa pun uluran tangan, akan menjadi cahaya bagi Yasin di tengah kegelapan hidupnya. Mari bantu kembalikan senyum dan martabatnya sebelum terlambat.

[Khoiri]

Kisah Kelam Pengadilan Racun Buat Minem: Dibotaki, Dicat, dan Ditelanjangi

(Pucungsari, Banjarnegara – 12 Juni 1992)

Kampung Pucungsari, Desa Rakitan, Kecamatan Madukara, Banjarnegara, Jawa Tengah, biasanya dikenal sebagai perkampungan tenang di lereng Bukit Lawe, sekitar 10 km utara kota Banjarnegara. Namun, Jumat sore 12 Juni 1992, ketenangan itu pecah. Ratusan warga mendadak berubah jadi massa beringas yang menyeret seorang janda dan putrinya ke “pengadilan jalanan” tanpa bukti.

Korban itu adalah Ny. Suparjo Minem (55) dan anak perempuannya, Sarni (21). Mereka dituduh meracuni tetangga sendiri, tuduhan keji yang bersumber dari gosip liar.

Awal Tuduhan

Beberapa minggu sebelum peristiwa, seorang warga bernama Hadi Suriyanto alias Hadi Bero (35) jatuh sakit tak lama setelah berkunjung ke rumah Warsiyem, anak sulung Minem. Entah bagaimana, kabar beredar bahwa Hadi sakit karena diracun keluarga Minem. Gosip itu terus membesar, hingga mencapai puncaknya di sore Jumat keramat itu.

Puluhan orang tiba-tiba mengepung rumah Minem. Mereka mendesak agar Minem mengaku telah meracuni Hadi dan menyerahkan sisa racunnya. Dengan tenang namun tegas, Minem menolak.

“Karena saya tidak merasa meracun, apalagi menyimpan racun, permintaan itu saya tolak,” kenang Minem dalam wawancara dengan Tabloid NOVA (28 Juni 1992).

Jawaban itu justru menyulut amarah massa.

Diseret dan Diikat di Pohon

Amukan warga langsung tak terkendali. Minem ditarik keluar rumah, diseret ke halaman, lalu diikat di sebuah pohon cengkih. Saat itu ia dan Sarni sebenarnya tengah sibuk memilah biji melinjo. Namun Sarni yang mencoba membela ibunya justru ikut diseret.

“Bunuh! Bunuh!” teriak massa yang semakin banyak berdatangan.

Kedua perempuan itu diikat dengan tali plastik. Pakaiannya dilucuti, lalu ikatan diperkuat dengan stagen. Sambil menjerit, Sarni hanya bisa mendekap ibunya yang juga tak kuasa melawan.

Rumah Dirusak, Tubuh Dicet

Tak hanya menyeret Minem dan Sarni, massa mengacak-acak rumah mereka. Dari kandang kambing hingga tempat tidur, semua dibongkar. Dinding rumah bahkan dicorat-coret dengan gambar tengkorak—simbol tuduhan “pembunuh” yang ditempelkan tanpa dasar.

Penderitaan Minem dan Sarni belum berhenti. Rambut panjang Minem—yang biasa terurai hingga sebatas paha—dipangkas habis. Begitu pula rambut Sarni. Tak cukup itu, tubuh keduanya dicat merah, diperlakukan seolah bukan manusia.

“Rambut saya tadinya panjang. Tapi sekarang habis, dipangkas,” kata Minem lirih, sembari menutup kepala dengan mukena hitam.

Keluarga Tak Berdaya

Saat kejadian, empat anak Minem lain ada di rumah. Sukirman (28), putra sulungnya, hanya bisa melarikan diri bersama dua adiknya yang masih kecil. Mereka ketakutan menyaksikan amukan warga. Hanya Sarni yang bertahan, dan justru menjadi korban bersama sang ibu.

Trauma yang Mengendap

Beberapa hari kemudian, Minem masih tampak linglung. Wajahnya penuh duka, matanya nanar setiap kali mengingat malam kelam itu.

“Mereka memperlakukan kami bukan sebagai manusia lagi,” ucapnya getir.

Peristiwa Pucungsari ini segera jadi sorotan nasional. Banyak media meliputnya. Bukan karena kampung itu meraih prestasi, melainkan karena mencatat salah satu bentuk trial by mob—pengadilan oleh massa—yang meninggalkan trauma panjang.

Penanganan Kasus

Peristiwa 12 Juni 1992 itu tidak hanya jadi pembicaraan warga Pucungsari, tapi juga menyebar cepat ke Banjarnegara dan sekitarnya. Berita di media massa membuat pihak kepolisian turun tangan.

Polisi mendatangi lokasi untuk melakukan penyelidikan. Namun, seperti lazimnya kasus main hakim sendiri pada masa itu, proses hukum berjalan lambat. Ratusan orang terlibat, sehingga sulit untuk menunjuk pelaku utama. Mayoritas warga yang hadir saling berlindung di balik kerumunan.

Meski demikian, aparat tetap mendata dan memanggil sejumlah saksi. Beberapa tokoh kampung yang dianggap memprovokasi kerumunan sempat diperiksa. Namun, belum ada catatan jelas bahwa mereka dijatuhi hukuman berat. Peristiwa ini lebih sering digambarkan sebagai “aib kampung” ketimbang tindak pidana yang harus diproses tegas.

Kondisi Minem dan Sarni Pasca-Kejadian

Setelah kejadian, Minem dan Sarni memilih hidup tertutup. Rumah mereka tetap berdiri, tapi dalam keadaan rusak parah. Mereka jarang keluar rumah kecuali untuk kebutuhan mendesak.

Minem kerap menutupi kepalanya dengan mukena hitam. Ia trauma dengan tatapan orang-orang yang dulu ikut menghinanya. Rambut panjang yang pernah jadi kebanggaannya tak bisa kembali dalam waktu singkat.

Sarni, yang saat itu masih muda, mengalami luka batin mendalam. Ia merasa terasing di tanah kelahirannya sendiri. Desas-desus di kampung tak serta-merta hilang, meski tak pernah ada bukti bahwa ia dan ibunya meracuni tetangga.

Reaksi Masyarakat Luas

Di luar Pucungsari, peristiwa ini mengejutkan publik. Tabloid NOVA edisi 28 Juni 1992 mengangkat kisah pilu Minem sebagai laporan utama. Media lain pun menyoroti bagaimana gosip bisa melahirkan kekerasan brutal yang menghancurkan martabat seseorang.

Kasus Minem dan Sarni jadi pelajaran tentang bahaya fitnah di tengah masyarakat desa, di mana kabar burung bisa lebih kuat daripada fakta.

Warisan Kelam

Hingga kini, peristiwa Pucungsari 1992 masih tercatat sebagai salah satu tragedi main hakim sendiri paling memilukan di Jawa Tengah. Ia menjadi pengingat bahwa gosip yang dibiarkan tanpa klarifikasi, ditambah mental massa yang gampang tersulut, bisa berujung pada pelanggaran kemanusiaan.

“Semua orang bisa jadi korban. Kami sudah merasakannya. Semoga tidak ada lagi yang mengalami seperti kami,” ucap Minem kala itu.

Kronologi Peristiwa Fitnah Racun Pucungsari – 12 Juni 1992

Pagi – Siang

  • Kampung Pucungsari, Desa Rakitan, masih terlihat normal. Minem (55) dan anaknya Sarni (21) beraktivitas seperti biasa di rumah.

  • Warga ramai memperbincangkan sakitnya seorang tetangga, Hadi Suriyanto alias Hadi Bero (35), yang beberapa minggu sebelumnya jatuh sakit usai pulang dari rumah Warsiyem, anak sulung Minem. Dari gosip inilah muncul isu “keracunan”.

Menjelang Sore (sekitar pukul 15.00 WIB)

  • Puluhan warga mulai berdatangan ke rumah Minem. Mereka menuduh Minem dan Sarni telah meracuni Hadi.

  • Tuntutan muncul agar Minem mengaku dan menyerahkan “sisa racun”. Minem menolak dengan tegas karena memang tidak merasa bersalah.

Sore (sekitar pukul 16.00 WIB)

  • Suasana memanas. Warga semakin banyak berdatangan. Teriakan “Bunuh! Bakar!” terdengar.

  • Minem diseret keluar, diikat ke pohon cengkih di halaman rumah. Sarni yang mencoba membela ibunya juga ikut diseret dan diikat dengan tali plastik.

Petang (sekitar pukul 17.00–18.00 WIB)

  • Massa makin brutal.

    • Pakaian Minem dan Sarni dicopot.

    • Rambut keduanya digunduli.

    • Tubuh mereka dicat merah.

  • Rumah Minem diobrak-abrik, dari kandang kambing hingga perabotan habis dirusak.

  • Dinding rumah dicorat-coret dengan gambar tengkorak.

Malam (sekitar pukul 19.00 WIB ke atas)

  • Massa masih bertahan, sebagian mendesak agar keduanya diarak keliling kampung.

  • Anak-anak Minem yang lain berhasil melarikan diri karena takut.

  • Situasi baru mereda setelah beberapa tokoh masyarakat mencoba menenangkan kerumunan.

Hari-hari Setelah Kejadian

  • Minem dan Sarni mengalami trauma berat. Minem menutupi kepalanya dengan mukena hitam karena rambutnya habis dicukur.

  • Polisi mulai menyelidiki, namun sulit menentukan pelaku utama karena ratusan orang terlibat.

  • Peristiwa ini kemudian dilaporkan media, salah satunya Tabloid NOVA edisi 28 Juni 1992.

Ricuh Karnaval Sound Horeg di Malang, MUI Jatim Keluarkan Fatwa Haram, Pemprov Bahas Regulasi

Malang — Warga Kelurahan Mulyorejo, Kota Malang, menolak keras penggunaan sound horeg dalam sebuah iring-iringan karnaval yang…

Pencarian Aulia Berlanjut ke Way Kandis, Paman Andika Temui Keluarga di Bakung

BANDAR LAMPUNG – Upaya pencarian Aulia (18), remaja asal Kelurahan Bakung, Telukbetung Barat, yang dilaporkan hilang…

Harapan Masih Menyala: Keluarga Sakim Menanti Kepulangan Aulia

BANDAR LAMPUNG — Setelah berbulan-bulan menanti dalam ketidakpastian, keluarga Sakim kini merasakan secercah harapan. Upaya pencarian terhadap Aulia, remaja 18 tahun yang menghilang sejak awal Maret 2025, mulai menunjukkan titik terang. Baru-baru ini, kediaman mereka kedatangan aparat yang menunjukkan langkah serius dalam menindaklanjuti kasus ini.

“Pagi tadi, ada petugas dari kepolisian yang datang ke rumah,” ujar Sakim, ayah Aulia, saat ditemui Rabu (14/5).

Aulia binti Sakim.
Aulia binti Sakim.

Tak hanya dari pihak kepolisian, perhatian juga datang dari unsur pemerintahan setempat. Siang harinya, rumah sederhana di Jalan Banten, Gang Pemuda 2 No 44, RT 02, LK 11, Kelurahan Bakung, Telukbetung Barat, kembali menerima kunjungan. Kali ini dari Camat, Babinsa, Lurah, dan aparat lingkungan lainnya.

“Pak Almasyah dari Babinsa datang, juga Pak Idham, Camat kami. Ada juga Pak Sigit, Lurah kami, dan Kepala Lingkungan Pak Fani beserta jajaran. Semua hadir dan berbincang dengan saya,” kata Sakim, lirih namun penuh syukur.

Di balik tatapan lelahnya, Sakim menyimpan harapan yang tak pernah padam. Ia mengingat jelas hari terakhir Aulia terlihat. Minggu, 2 Maret 2025, sekitar pukul 16.30 WIB, Aulia berpamitan kepada ibunya, Linda, untuk membeli takjil. Hari itu adalah awal Ramadan. Dengan senyum yang kini begitu dirindukan, Aulia melangkah keluar rumah—dan sejak itu tak pernah kembali.

Hari demi hari berlalu, dan rumah yang dulu dipenuhi canda tawa kini sunyi. Namun doa-doa terus terucap. Nama Aulia selalu disebut dalam setiap sujud, dalam tiap malam panjang penuh penantian. Linda, ibunya, setiap malam menatap pintu, berharap mendengar langkah kaki putrinya kembali.

Kasus ini sempat menjadi viral di media sosial, memunculkan simpati dari berbagai pihak. Dari yang semula hanya menjadi duka dalam diam, kini menjadi kisah yang menyentuh hati banyak orang.

“Kami sangat berterima kasih atas perhatian yang kami terima. Setidaknya kami tahu, kami tidak sendiri dalam pencarian ini,” ujar Linda, dengan suara bergetar.

Keluarga Sakim menyadari bahwa perjalanan ini belum usai. Namun hari-hari yang dulu suram kini sedikit lebih terang. Kehadiran para aparat menjadi bukti bahwa masih ada yang peduli, masih ada yang turut mendoakan.

Hilangnya Aulia bukan sekadar kehilangan seorang anak, melainkan juga kisah tentang cinta yang tak kenal batas, keteguhan hati, dan kepercayaan pada harapan. Dalam luka, mereka tetap memilih percaya bahwa suatu hari Aulia akan kembali.

Dan hingga hari itu tiba, rumah ini akan terus menunggu—dengan cinta yang setia, doa yang tak henti, dan keyakinan yang tak pernah padam. (*)

Sunyi Menyelimuti, Orang Tua Terus Menanti Kepulangan Aulia

BANDAR LAMPUNG — Rumah di Jalan Banten, Gang Pemuda 2 No 44, RT 02, LK 11, Kelurahan Bakung, Telukbetung Barat, kini terasa begitu hening. Tak terdengar lagi canda riang gadis muda yang biasa menghidupkan suasana. Sejak Minggu sore, 1 April 2025, Aulia (18), anak ketiga dari Sakim (50) dan Linda (45), belum kembali ke rumah.

Pada hari itu, bertepatan dengan awal Ramadhan, Aulia berpamitan untuk membeli takjil sekitar pukul 16.30.

“Dia pergi dengan senyum manisnya seperti biasa,” tutur Linda, matanya terus terpaku ke pintu yang sejak dua bulan lalu tak pernah dibuka oleh Aulia lagi.

Tak ada firasat buruk saat itu. Semuanya terasa seperti hari-hari biasanya. Namun sejak Aulia melangkah pergi sore itu, tak ada kabar yang datang. Tak ada pesan. Tak ada jejak.

Belakangan keluarga mengetahui bahwa Aulia diduga pergi bersama seorang remaja laki-laki bernama Andika bin Andriansyah. Beberapa informasi dari warga menyebutkan bahwa mereka sempat terlihat di sejumlah tempat: rumah tetangga ayah Andika di Serdang (Tanjung Bintang), kediaman pamannya di Way Lunik (Panjang), hingga rumah keluarga Andika di Padang Cermin, Pesawaran. Namun setelah itu, keberadaan mereka menjadi teka-teki.

Upaya pencarian sudah dilakukan ke berbagai arah. Namun hingga kini, hasilnya nihil.

“Semenjak Aulia pergi, hidup saya seperti berhenti. Saya tidak bisa makan, tidak bisa tidur,” ucap Sakim, ayah Aulia, dengan suara parau. Meski mencoba tampak tegar, air matanya tak bisa disembunyikan. Setiap malam hanya diisi doa dan harapan agar anaknya segera kembali.

Linda pun tak lelah berharap. Setiap suara langkah di luar pagar rumah membuatnya berdebar—berharap itu Aulia yang pulang. Tapi harapan itu tak pernah benar-benar terwujud.

“Kami tidak ingin membuat situasi rumit. Kami hanya ingin tahu Aulia di mana, bagaimana keadaannya,” ujar Sakim. Ia menyatakan bahwa keluarga bersedia mencabut laporan polisi jika pihak Andika dan keluarganya menunjukkan itikad baik serta mengantar Aulia pulang.

Laporan kehilangan resmi telah dilayangkan ke Polda Lampung pada 14 Maret 2025 dengan nomor: LP/B/224/III/2025/SPKT/POLDA LAMPUNG.

Tidak ada kebencian dalam suara mereka. Hanya kerinduan mendalam dari orang tua yang kehilangan anaknya. Pesan mereka sederhana, namun penuh makna:

“Aulia, pulanglah, Nak. Kami tidak akan marah. Kami hanya ingin tahu kamu baik-baik saja. Rumah ini sunyi tanpamu. Ibu dan Ayah merindukanmu, setiap waktu.”

Bagi siapa pun yang memiliki informasi mengenai keberadaan Aulia, keluarga memohon dengan sangat agar dapat menghubungi nomor: 089550504857 atau 089648297569.

“Aulia, di mana pun kamu berada, rumah ini selalu menantimu. Ada pelukan yang tak pernah letih menunggu. Pulanglah, Nak”.

Kisah antara Pihak Keamanan dan Wartawan di Bandar Lampung Berakhir Damai

Bandar Lampung, [KoPI] – Dua anggota keamanan dari Emersia Hotel & Resort, Fitria Sumarni dan Abdullah Andika, secara resmi mengajukan permohonan maaf kepada seluruh wartawan dan jurnalis terkait insiden pengusiran yang terjadi pada 26 November 2024 di Ballroom Emersia Hotel, Bandar Lampung. Permohonan maaf ini terutama ditujukan kepada wartawan dari D-Actual.id, Bensorinfo.com, Radar24, dan Viralpetang.com.

Permohonan maaf tersebut disampaikan di Polresta Bandar Lampung, tepatnya di ruang Tindak Pidana Tertentu (Tipiter). Dalam surat pernyataan, kedua anggota keamanan mengakui kesalahan, menyatakan penyesalan, dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan serupa di masa depan. Mereka juga menyatakan kesediaan menerima sanksi jika kembali melakukan tindakan yang merugikan wartawan.

Acara ini disaksikan oleh Kuasa Hukum Dr. Raja Agung Kusuma, A.R.C., M.H., serta perwakilan dari Polresta Bandar Lampung, Brigpol Denny Hariyanto, S.H., M.H. (Bintara Unit Tipiter Sat Reskrim Polresta Bandar Lampung). Beberapa wartawan juga hadir sebagai saksi, di antaranya Heni (Viralpetang.com), Rossi (D-Actual.id), Endrawartiningsih, Marli (Wartapalapa.com), Iffah (Transaewu.com), dan M. Indra Kurniawan (PWDPI Kota Bandar Lampung).

Kesepakatan Perdamaian

Sebagai langkah lanjutan, pihak wartawan yang diwakili oleh Bambang Susanto Prasetya bersama beberapa saksi sepakat untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Kesepakatan perdamaian dituangkan dalam surat resmi yang ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Dalam kesepakatan tersebut, diputuskan bahwa:

  1. Pihak pertama (wartawan) akan mencabut laporan polisi terkait dugaan pelanggaran terhadap Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 310 KUHP tentang Penghinaan.
  2. Pihak kedua (anggota keamanan) akan membuat permohonan maaf tertulis dan video serta mempublikasikannya.
  3. Kedua belah pihak berjanji untuk menjaga hubungan yang lebih baik demi menghindari kejadian serupa di masa depan.

Kesepakatan ini diharapkan dapat mempererat hubungan antara pihak keamanan hotel dan insan pers, serta mendorong terciptanya saling pengertian dan profesionalisme dalam menjalankan tugas masing-masing.

Para rekan media juga mengucapkan terima kasih kepada Polresta Bandar Lampung, khususnya Unit Tipiter, yang telah memediasi permasalahan ini sehingga dapat diselesaikan dengan lancar dan damai.

Keluarga Pewakaf Protes Menara Masjid Bersejarah Rawalaut buat Provider

LAMPUNG — Keluarga H. Marsim menyampaikan keberatan terkait pemasangan pemancar sinyal provider di menara Masjid Taufiqurrahman, yang terletak di Jl. H. Masmansyur No.38, Kelurahan Rawalaut, Kecamatan Enggal, Kota Bandarlampung.

Samsudin (59), keponakan dari pewakaf masjid tersebut, berencana mengumpulkan keluarga besar pewakaf untuk membahas masalah ini, bahkan kemungkinan akan membawa masalah ini ke jalur hukum serta meminta penjelasan dari pihak terkait.

Keluarga Pewakaf Protes Menara Masjid Bersejarah Rawalaut buat Provider

Dia mengungkapkan kekesalannya setelah melihat beberapa provider komersial terpasang di menara masjid yang dianggapnya sebagai bangunan bersejarah di Kota Bandarlampung.

“Sangat tidak pantas ada provider di menara masjid,” tegasnya, Minggu (26/1/2025). Samsudin juga mempertanyakan sejak kapan tempat ibadah wakaf milik pamannya tersebut dijadikan lahan bisnis.

Keluarga Pewakaf Protes Menara Masjid Bersejarah Rawalaut buat Provider

Menurutnya, pengurus masjid dan aparat Kelurahan Rawalaut tidak semestinya melakukan komersialisasi menara masjid untuk kepentingan bisnis provider. “Apa umat dan Bunda Eva tidak bisa lagi mengurus tempat ibadah ini tanpa harus dijadikan komersial?” tambahnya.

Samsudin, yang akrab dipanggil Meyeng, menjelaskan bahwa ketika masjid dan menara dibangun, warga setempat bergotong-royong untuk kepentingan ibadah umat Islam, bukan untuk tempat bisnis provider.

Menurut kabar yang diterimanya, uang sewa yang diterima dari pemasangan provider digunakan untuk kebutuhan masjid, terutama untuk membayar listrik. Namun, ia menilai alasan ini tidak masuk akal. “Masjid ini sudah berdiri puluhan tahun dengan dukungan umat dan Pemkot Bandarlampung, jadi pembiayaan listriknya seharusnya tidak perlu menjadi alasan,” ujarnya.

Samsudin menambahkan, alasan menggunakan uang sewa untuk membayar listrik dirasa sangat dibuat-buat, mengingat biaya komersialisasi dari provider jauh lebih besar dari kebutuhan sosial seperti listrik masjid.

Disdik: Kasus Siswi Hamil Terjadi Setiap Tahun di Cianjur

Cianjur – Fenomena siswi hamil di Cianjur kembali mencuat setelah viralnya kabar mengenai SMA Sulthan Baruna…

Kasus Agus Salim Jadi Pelajaran Penting soal Pengelolaan Donasi, Ini Kata Mensos

Jakarta – Nama Agus Salim sempat menjadi sorotan publik setelah insiden penyiraman air keras yang menimpanya…

Tiga Oknum Anggota Paspampres Culik dan Siksa Pemuda Asal Aceh Imam Masykur Hingga Tewas

LAMPUNG7COM | Tiga oknum anggota TNI bertugas di Pasukan Pengaman Presiden (Paspamres) terlibat kasus penculikan dan…

Kisah Inspiratif Asgafahrizki Aulia Fatoni, Hafidz Qur’an Diterima di 5 Perguruan Tinggi Favorit

LAMPUNG7COM | Tahun 2023 ini perguruan tinggi negeri menggunakan berbagai metode untuk merekrut mahasiswa baru. Diantaranya…

Aksi Patriot Guru Honorer Nehru, Mendapat Perhatian dan Penghargaan dari Kapolres Lamsel

LAMPUNG7COM | Kapolres Lampung Selatan berikan penghargaan kepada aksi heroic warga pemanjat tiang bendera saat upacara…

Kadis KP Lampung Utara bak Bang Jago: “Saya lepas baju kalau saya takut sama kamu orang”

LAMPUNG7COM | Aksi bang jago kembali terjadi dikalangan Pejabat, kali ini menimpa dua orang wartawan saat…

Satu Lagi, PMI Asal Lamtim Meninggal di Taiwan, Sisakan Duka Mendalam

LAMPUNG7COM – Lampung Timur | Satu lagi, Pekerja Migran Indonesia asal Desa Raman Fajar Kecamatan Raman…

Sekilas Mitos Bulan Purnama Agustus 2023

Cerpen | Langit malam selalu mempesona bagi umat manusia, dan salah satu peristiwa langit yang paling…

Akhirnya WNA Asal Malaysia Dipulangkan Ke Negara Asalnya Ini Penyebabnya

LAMPUNG7COM | Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditres Krimum) Polda Lampung, sudah memberangkatkan seorang wanita warga negara…

Kisah Haru Anak Driver Ojol Masuk Polisi

LAMPUNG7COM – Lampung | Ridho Orang Tua adalah Ridho Tuhan, hal ini lah yang terbukti meski banyak…

Dua Pemuda Warga Balam Yang Tenggelam di Pantai Mutun Berhasil Ditemukan Tim Gabungan

LAMPUNG7COM | Akibat gelombang laut tinggi, perahu yang di tumpangi 4 orang hendak melakukan kegiatan memancing…

Wow! Biaya Naik Kapal Selam Wisata ke Titanic Tembus Rp 3,7 Miliar Perorang

Jakarta | Otoritas penjaga pantai di Amerika Serikat mengkonfirmasi kapal selam wisata ke bangkai kapal pesiar…