Dewas BPJS Kesehatan Ajak Pekerja Perkebunan Bangkit: “Jaminan Kesehatan Itu Hak, Bukan Pemberian”

PEKANBARU — Anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Siruaya Utamawan, mengajak para pekerja di sektor perkebunan dan kehutanan untuk memahami serta memperjuangkan hak mereka dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Menurutnya, pekerja lapangan memiliki peran vital dalam pembangunan, sehingga hak atas perlindungan kesehatan tak boleh diabaikan.

Hal ini disampaikan Siruaya dalam sesi diskusi bertema “Manfaat BPJS Kesehatan bagi Pekerja Perkebunan dan Kehutanan” pada acara Konsolidasi Nasional Serikat Pekerja Perkebunan dan Kehutanan (SPPK) FSPMI, di Pekanbaru, Riau, Sabtu (27/9/2025).

“Jangan pernah merasa kecil. Kontribusi bapak dan ibu sangat nyata bagi negara, termasuk dalam program JKN,” ujar Siruaya memotivasi ratusan peserta. “Serikat pekerja adalah wadah penting untuk memperjuangkan hak-hak normatif, termasuk jaminan sosial.”

Kepesertaan JKN Hampir Menyeluruh

Siruaya memaparkan, kepesertaan JKN nasional telah mencapai 99,14 persen per 1 September 2025. Di Provinsi Riau, cakupannya sudah menyentuh 98 persen, dengan tingkat keaktifan peserta 79 persen.

“Jika bisa mencapai 80 persen, Riau bisa mendapatkan status Universal Health Coverage (UHC) prioritas, di mana pendaftaran PBPU Pemda bisa langsung aktif di hari yang sama,” jelasnya.

Ia menambahkan, segmen Pekerja Penerima Upah (PPU) merupakan kelompok paling sehat secara finansial dalam sistem JKN. “Rasio klaimnya masih di bawah 100 persen. Artinya, teman-teman pekerja ikut menyubsidi peserta lain. Itulah bentuk nyata gotong royong,” kata Siruaya.

Luruskan Pemahaman Soal Iuran

Dalam kesempatan itu, ia juga meluruskan anggapan keliru soal iuran JKN. Menurutnya, kontribusi pekerja sebenarnya sebesar 5 persen dari upah, bukan 1 persen.

“Empat persen memang dibayarkan oleh pemberi kerja, tetapi itu bagian dari penghasilan pekerja. Jadi tidak ada alasan bagi pengusaha untuk tidak membayarnya,” tegasnya.

Risiko Kesehatan Tinggi, Hak Perlindungan Harus Dijamin

Siruaya mengingatkan bahwa sektor perkebunan dan kehutanan memiliki risiko kesehatan tinggi. Karena itu, ia menilai kerugian besar jika para pekerja tidak terlindungi oleh JKN.

“BPJS Kesehatan lahir dari perjuangan buruh. Kami selalu terbuka untuk kritik dan masukan demi perbaikan layanan,” ujarnya.

Aspirasi Pekerja: Dari Pelayanan Terbatas hingga Kasus PHK

Dalam sesi tanya jawab, sejumlah perwakilan serikat pekerja menyampaikan keluhan lapangan. Ketua DPW FSPMI Riau, Satria Putra, menyoroti kasus pasien yang baru dirujuk setelah ada desakan relawan.

Dari Sumatera Barat, Yudi Kurnia menyoroti fasilitas kesehatan yang membatasi layanan JKN hingga pukul 12 siang. Sementara dari Bengkulu, John Suhemi mempertanyakan perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK.

Menanggapi hal itu, dr. Muhammad Fakhriza, Kepala Cabang BPJS Kesehatan Pekanbaru, menegaskan komitmen lembaganya untuk bersinergi.

“Jika ada perusahaan yang tidak mendaftarkan pekerjanya, laporkan. Kami akan tindaklanjuti hingga ke Wasnaker atau kejaksaan,” ujarnya.

Terkait pembatasan jam layanan, Fakhriza menegaskan bahwa FKTP wajib buka minimal 7 jam per hari, bahkan hingga 24 jam jika jumlah peserta di atas 15 ribu.

Untuk pekerja yang terkena PHK, ia menambahkan, hak jaminan kesehatan tetap berlaku selama 6 bulan tanpa perlu membayar iuran, asalkan melapor disertai surat dari Disnaker.

Terakhir, ia mengingatkan agar peserta tidak tergesa menandatangani biaya tambahan yang tidak semestinya. “Kalau diminta membayar padahal tidak sesuai prosedur, itu termasuk fraud. Segera adukan ke kami,” pungkasnya.

Tulis Komentar Anda