Jakarta – Wakil Menteri Haji dan Umrah, Dahnil Anzar Simanjuntak, menegaskan bahwa istilah haji mandiri sejatinya merujuk pada haji dengan visa mujamalah, yaitu haji undangan resmi dari Kerajaan Arab Saudi. Dahnil menekankan bahwa penyelenggaraan haji mujamalah tidak menggunakan kuota haji nasional Indonesia.
“Haji mandiri itu sebenarnya tidak diatur dalam undang-undang kita. Yang disebut haji mandiri dalam tanda kutip itu ya haji mujamalah. Visa mujamalah ini tidak termasuk dalam kuota nasional,”
ujar Dahnil di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (27/10).

Dahnil menjelaskan, visa mujamalah bersifat khusus karena dikeluarkan langsung oleh otoritas Arab Saudi, di luar sistem kuota resmi pemerintah Indonesia. Namun, jamaah yang mendapatkan visa tersebut tetap harus berangkat melalui Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
“Biasanya, mereka yang mendapat visa mujamalah atau visa furoda tetap berangkat melalui PIHK, bukan perorangan. Semua diorganisir oleh penyelenggara resmi,”
jelasnya.
Menurut Dahnil, dalam beberapa kasus, visa mujamalah dapat diberikan secara langsung oleh Kerajaan Arab Saudi kepada individu tertentu sebagai bentuk undangan kehormatan. Meski begitu, sebagian besar calon jemaah tetap memilih menggunakan layanan PIHK atau penyelenggara haji khusus untuk mengatur keberangkatan dan akomodasi selama di Tanah Suci.
“Kalau visa mujamalah itu undangan langsung dari kerajaan, biasanya diberikan kepada orang tertentu. Tapi pada umumnya, jemaah memilih melalui PIHK agar lebih terorganisir,” tambahnya.
Dahnil juga menegaskan, berbeda dengan umrah mandiri yang telah diatur secara jelas dalam Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, pelaksanaan haji tetap memerlukan koordinasi dan pengorganisasian yang ketat.
“Haji itu berbeda dengan umrah. Tidak bisa dilakukan perorangan, karena semua harus diatur secara terorganisir melalui penyelenggara resmi,” tandas Dahnil.