Nilai tukar rupiah sentuh Rp 16.412 per dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat (14/6). Mata uang garuda ini melemah cukup tajam hingga 142.00 atau 0,87 persen,
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede mengungkapkan pelemahan nilai tukar rupiah bak pisau bermata dua. Di satu sisi, penerimaan negara akan terkerek, namun di sisi lain belanja negara akan meningkat.
Josua menjelaskan penguatan dolar AS terhadap rupiah menyebabkan peningkatan beberapa komponen. Misalnya pembayaran bunga utang, subsidi, dan kompensasi energi, serta Dana Bagi Hasil (DBH) migas akibat perubahan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas.
“Setiap nilai tukar rupiah melemah Rp 100 per dolar AS dari asumsinya, maka akan mendorong peningkatan belanja negara sebesar Rp 10,2 triliun termasuk di dalamnya dampak tambahan pembayaran bunga utang dan subsidi,” kata Josua, Selasa (18/6).
“Di saat bersamaan juga mendorong peningkatan penerimaan negara sebesar Rp 4,0 triliun,” tambahnya.
Kedua hal tersebut mendorong pelebaran defisit APBN sebesar Rp 6,2 triliun. “Jadi dengan saat ini rata-rata nilai tukar rupiah dari awal tahun hingga tanggal 14 Juni yang lalu berkisar Rp 15.859 per dolar, maka terdapat kenaikan belanja negara sebesar Rp 53,3 triliun dan kenaikan pendapatan negara sebesar Rp 34,4 triliun yang artinya defisit APBN 2024 berpotensi melebar sekitar Rp 18,9 triliun,” jelas Josua.
Dihubungi terpisah, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan pelemahan rupiah akan berdampak pada utang Indonesia. Menurutnya, pemerintah perlu merogoh kocek lebih untuk memenuhi kebutuhan pembayaran utang dalam mata uang asing.
“Ini dapat berdampak pada peningkatan beban anggaran, karena jumlah uang yang dibutuhkan untuk membayar bunga utang akan meningkat, sehingga mengurangi ruang fiskal untuk pengeluaran lain,” kata Yusuf.
Yusuf menyebut, defisit APBN akan melebar jika pemerintah tidak mengimbangi peningkatan beban bunga dengan penerimaan atau pemangkasan belanja negara. Lebih lanjut, Yusuf bilang beban utang yang meningkat dapat mempengaruhi persepsi pasar dan investor terhadap kredibilitas fiskal.
Di tahun ini, pemerintah menargerkan defisit APBN sebesar 2,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), dengan asumsi kurs Rp 15.000 per dolar AS. Hingga April 2024, APBN tercatat surplus Rp 75,7 triliun atau 0,33 persen dari PDB.
Tak hanya itu, pelemahan rupiah juga dinilai dapat mempengaruhi biaya subsidi. Dengan pelemahan rupiah, biaya impor energi seperti minyak dan gas meningkat.
“Pemerintah mungkin terpaksa menaikkan harga bahan bakar dan energi jika biaya subsidi menjadi terlalu besar, yang dapat memicu inflasi dan mempengaruhi daya beli masyarakat,” kata Yusuf.
“Kenaikan harga energi dan barang impor lainnya akibat pelemahan rupiah dapat memicu inflasi yang lebih tinggi, sehingga menambah beban bagi masyarakat dan ekonomi secara keseluruhan,” pungkasnya.