Bandar Lampung — Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Bupati Lampung Tengah baru-baru ini kembali menyoroti persoalan tata kelola proyek infrastruktur di Provinsi Lampung. Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Lampung menilai kondisi tersebut sejalan dengan temuan mereka bahwa pelayanan infrastruktur di daerah masih belum optimal dan berpotensi menimbulkan maladministrasi.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Provinsi Lampung, Nur Rakhman Yusuf, menjelaskan bahwa pihaknya telah melakukan rangkaian pemeriksaan mulai dari permintaan keterangan, penelusuran dokumen, verifikasi lapangan, hingga klarifikasi kepada pihak terkait.
“Hasil kajian pelayanan infrastruktur akan kami serahkan kepada sembilan Kepala Daerah—Gubernur Lampung, Walikota Metro, dan para bupati yang menjadi lokus kajian—pada Kamis, 11 Desember 2025 pukul 13.30 WIB di Hotel Emersia,” ujarnya.
Selain penyerahan hasil kajian, Ombudsman juga meminta para kepala daerah menandatangani lembar komitmen untuk memastikan penyelenggaraan pelayanan infrastruktur bebas dari maladministrasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Nur Rakhman menambahkan bahwa meski undangan telah dikirimkan secara resmi, baru beberapa kepala daerah yang mengonfirmasi kehadiran, di antaranya Bupati Mesuji dan Bupati Pringsewu.
“Kami menyayangkan apabila ada kepala daerah yang tidak hadir, karena forum ini merupakan momentum penting untuk menunjukkan komitmen mereka kepada masyarakat dalam memperbaiki tata kelola pelayanan infrastruktur,” tegasnya.
Temuan Utama Ombudsman: Transparansi Rendah, SOP Minim, Hingga Kualitas Jalan Tidak Terjamin
1. Transparansi dan Akuntabilitas Belum Berjalan
Ombudsman menemukan bahwa aspek transparansi penyelenggaraan infrastruktur masih sangat lemah. Sesuai Permen PUPR No. 13/2011, rencana pemeliharaan jalan harus dipublikasikan secara terbuka melalui media atau situs resmi paling lambat Januari tiap tahun.
Namun dari hasil peninjauan pada 9 dinas—di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota—tidak satu pun yang memublikasikan rencana tersebut. Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui ruas mana yang akan diperbaiki dan kehilangan kesempatan untuk melakukan fungsi pengawasan.
Selain itu, 7 dari 9 dinas belum memiliki SOP Pemeliharaan Jalan, sehingga akuntabilitas dalam pelaksanaannya dikhawatirkan sangat rendah.
2. Uji Laik Fungsi Jalan Tidak Pernah Dilakukan
Aspek kualitas jalan juga menjadi perhatian serius. Berdasarkan Permen PUPR No. 4/2023, pemerintah daerah wajib melakukan uji laik fungsi jalan sebelum dioperasikan dan menerbitkan sertifikat laik fungsi.
“Seluruh dinas belum melaksanakan uji laik fungsi akibat keterbatasan anggaran. Artinya, seluruh jalan yang beroperasi saat ini belum memiliki sertifikat laik fungsi,” jelas Nur.
Hal ini berpotensi menimbulkan masalah keselamatan, mengingat kelayakan perkerasan, marka, dan rambu lalu lintas tidak pernah diuji secara formal.
3. Pengelolaan Pengaduan Publik Tidak Memadai
Ombudsman juga menyoroti lemahnya pengelolaan pengaduan masyarakat. Padahal, UU No. 25/2009 mewajibkan setiap penyelenggara layanan publik menyediakan kanal pengaduan, menugaskan petugas kompeten, serta menyusun mekanisme penanganan pengaduan.
“Kesembilan dinas yang kami periksa belum memiliki SOP pengelolaan pengaduan. Pengaduan yang masuk berpotensi tidak tercatat, tidak ditindaklanjuti, atau tidak terselesaikan dengan baik,” ungkap Nur.
Kondisi ini diperparah dengan fakta bahwa dinas-dinas terkait juga memberikan berbagai layanan publik lain, sehingga standar pelayanan seharusnya telah disusun secara jelas.
Ombudsman: Butuh Kepatutan Bertindak dan Kebenaran Prosedural
Belajar dari kasus OTT Lampung Tengah, Ombudsman menegaskan pentingnya peningkatan integritas dalam penyelenggaraan pemerintahan. Kepatutan bertindak dan penegakan kebenaran prosedural harus menjadi pondasi dalam setiap layanan publik, terutama layanan infrastruktur yang menyangkut keselamatan dan kepentingan masyarakat luas.