Ngambur, Pesisir Barat – 23 Juli 2025 hari yang tercatat sebagai salah satu momentum bersejarah dalam peradaban adat Lampung. Di Kecamatan Ngambur, Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung, dua peristiwa besar berlangsung bersamaan dan menyedot perhatian publik: pernikahan agung putra Sai Batin Marga Ngambur serta penganugerahan gelar adat tertinggi kepada tokoh nasional, Irjen Pol (Purn) Dr. H. Ike Edwin.
Keduanya tidak sekadar seremoni, tetapi pernyataan tegas akan pentingnya menjaga identitas budaya Lampung Saibatin di tengah derasnya arus modernisasi.
Pernikahan Putra Mahkota: Simbol Martabat dan Kesucian
Prosesi adat pernikahan agung (nayuh) antara Gustian Sapta Ningrat, S.H. bin A. Rianda Farsiansyah, putra mahkota dari Sai Batin Marga Ngambur, dengan Liya, S.H. binti Pirlana, berlangsung penuh khidmat dan sarat makna simbolik.
Arak-arakan pengantin dimulai dengan Awan Geminser, simbol kehormatan dan kemurnian martabat keluarga Saibatin, lalu dilanjutkan dengan Jejalan Andak—hamparan kain putih sebagai lambang kesucian dan status keluarga.
Prosesi puncak, Lalamak Titi Kuya Jambat Agung, menjadi sorotan utama. Dalam ritual ini, telapak kaki pemimpin tidak menyentuh tanah, tetapi diinjakkan di atas alas khusus, sebagai wujud pengabdian rakyat terhadap pemimpinnya.
Gema gendang, gong, kelittang, dan syair adat mengiringi seluruh rangkaian acara yang dipenuhi ribuan masyarakat berpakaian adat lengkap. Hadir pula tokoh adat dari seluruh wilayah Pesisir Barat, termasuk para Sai Batin dari 15 marga, Bupati dan Wakil Bupati, serta tamu kehormatan nasional.
Gelar “Penyimbang Marga Tuha Raja Lampung” untuk Irjen Pol (Purn) Ike Edwin
Di tengah prosesi adat, Sai Batin Marga Ngambur memimpin sidang adat khusus yang menganugerahkan gelar adat tertinggi kepada Irjen Pol (Purn) Dr. H. Ike Edwin, S.IK., S.H., M.H., M.M., atau akrab disapa Dang Ike Edwin.
Berdasarkan hasil musyawarah adat, beliau dinilai berjasa besar dalam menjaga nilai, martabat, dan warisan budaya Lampung. Gelar “Penyimbang Marga Tuha Raja Lampung” diberikan sebagai pengakuan atas dedikasi lintas-marga dan perannya dalam memperkuat eksistensi budaya adat di tingkat nasional.
Dengan balutan busana adat kebesaran, Dang Ike Edwin menjalani prosesi sumpah adat dan menerima piagam serta penyematan simbolik dari pemimpin adat Marga Ngambur.
Seruan Kritis: Budaya Adat Terancam Punah
Dalam sambutannya, Dang Ike Edwin menyampaikan keprihatinan mendalam atas masa depan budaya Lampung.
“Mungkin 30 tahun ke depan, kita tidak akan lagi melihat semangat gotong royong dalam penayuhan. Tradisi memasak bersama, mempersiapkan kayu bakar, bisa jadi hanya tinggal cerita,” ujarnya lantang namun penuh keprihatinan.
Pernyataannya menjadi alarm keras tentang erosi nilai-nilai adat seperti cangget dan sambayan, yang kini mulai tergerus oleh modernitas dan perubahan gaya hidup.
Hal senada disampaikan Suttan Jaya Kesuma IV, pemimpin Kepaksian Buay Bujalan, yang turut hadir dalam prosesi. Ia menegaskan bahwa menjaga adat adalah amanah luhur dan tugas kolektif seluruh elemen masyarakat, termasuk pemerintah.
Seruan untuk Pemerintah: Aksi Nyata Pelestarian Budaya
Suttan Jaya Kesuma IV menyampaikan harapan kepada pemerintah daerah, khususnya Bupati dan Wakil Bupati Pesisir Barat, untuk:
-
Mengintegrasikan muatan lokal budaya dalam kurikulum pendidikan,
-
Memberikan dana dan fasilitas untuk kegiatan adat,
-
Menyediakan pelatihan tradisi seperti menenun tapis, bermain musik, tari, dan bahasa Lampung,
-
Mendokumentasikan kearifan lokal,
-
Memberikan insentif kepada pelaku budaya,
-
Dan menyisipkan nilai-nilai adat dalam proses pembangunan.
“Budaya adalah identitas dan pondasi karakter masyarakat. Tanpa itu, kita kehilangan arah,” tegasnya.
Simbol Persatuan dan Harapan Masa Depan
Acara ditutup dengan tradisi makan bejambangan, yaitu makan bersama seluruh tamu dan masyarakat. Hidangan khas Lampung disajikan sebagai simbol persatuan, persaudaraan, dan syukur. Tradisi ini sekaligus menegaskan kembali semangat sakai sambayan (gotong royong), nilai utama dalam kehidupan masyarakat adat.
Peringatan 23 Juli 2025 di Ngambur menjadi bukan hanya panggung budaya, tetapi juga momen kebangkitan dan kesadaran kolektif akan pentingnya menjaga warisan leluhur. Simbol-simbol adat seperti Lalamak Titi Kuya Jambat Agung mengingatkan bahwa adat bukan sekadar tradisi, tapi nyawa dari peradaban itu sendiri.