Cara pemerintahan sentralistis tersebut pada waktu itu menurut penulis sangat efektif, politik hukum yang diterapkan pada waktu itu sangatlah tepat oleh karena untuk mempertahankan keutuhan Indonesia, terbukti tidak ada satu pun daerah di Indonesia yang mampu direbut oleh pihak penjajah pada waktu itu.
Pada Tanggal 10 Juli 1948 Pemerintah RI mengeluarkan undang-undang Nomor 22 Tahun 1948. Dalam undang-undang ini menganut sistem otonomi material artinya undang-undang menentukan secara rinci kewajiban (otoritas) apa saja yang diberikan dari pemerintah pusat kepada daerah, diluar dari pada itu menjadi otoritas pemerintah pusat. Dalam undang-undang nomor 22 tahun 1948 ini telah dikenal tiga tingkatan daerah yaitu: (1) Provinsi atau daerah tingkat I, (ii) Kabupaten atau Kota Besar sebagai daerah tingkat II, dan (iii) Desa atau Kota Kecil (Negeri, Marga, Lembang) sebagai daerah tingkat III. Namun pelaksanaan undang-undang itu ditunda, karena terjadi pemberontakan PKI di Madiun dan aksi meliter Belanda Kedua yang menduduki Ibukota RI pada tanggal 19 Desember 1948. Baru pada RIS undang-undang tersebut dapat dilaksanakan.
Jika melihat kedepan, Pada orde ini kesatuan bukan satu dalam perbedaan, atau dalam konsep awal: bhineka tunggal ika, melainkan keseragaman. Perbedaan tidak dilihat sebagai kekayaan, melainkan ancaman persatuan. Perbedaan bukan potensi dan kekuatan, melainkan (dipandang) sebagai keburukan yang harus dibasmi. Pandangan ini tentu saja sangat sejalan dengan praktek politik orde baru, yang pada dasarnya menjalankan garis totaliterisme. Dalam orde ini masyarakat yang berada di daerah-daerah mau tidak mau, suka tidak suka, harus tunduk terhadap keputusan maupun peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dalam orde ini tercermin sikap otoriter oleh karena, pemerintah pusat lah yang seakaan-akan telah mengetahuhi segala permasalahan maupun keinginan dari masyarakat di daerah sehingga pemerintah pusat beranggap tidak perlu mendapatkan kesepakatan maupun pendapat dari masyarakat di daerah.
Kebijakan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun1974 tetap dilandasi dengan tiga asas desentralisasi dan dekonsentralisasi serta dimungkinkannya adanya tugas pembantu. Namun, asas dekonsentrasi tidak lagi hanya dijadikan pelengkap, melainkan diterapkan secara bersamaan dengan asas desentralisasi dalam penyelengaraan pemerintahan daerah. Konsekuensi yang ditimbulkan dari kebijakan ini adalah setiap daerah yang terdapat dalam wilayah NKRI memilik status ganda yakni sebagai daerah otonom sekaligus wilayah administartif. Pada kenyataannya cenderung didominasi oleh dekonsetrasi sehingga dalam pelaksanaannya cenderung mengarah pada sistem pemerintahan yang sentralistis.