Masalah otonomi daerah
Berdasarkan pemeparan di atas jelas berarti semangat UU otonomi daerah yang desentralistik merupakan bagian dari cita – cita perjuangan dan semangat partisipasi kedaerahan yang kuat sehingga ada perbedaan prinsip antara UU no. 5 tahun 1974 dengan UU no. 32 tahun 2004 ada beberapa hal yang menjadi indikator:
Pertama: Digantinya kewenangan menjadi urusan
Hal ini merupakan yang sangat Fundamental sebab kata kewenangan dan urusan merupakan dua hal yang berbeda secara subtansial. Kata urusan merupakan bagian dari kewenangan, dengan demikian pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih kecil, hanya sekedar urusan pemerintah. Sedangkan dengan kewenangan berarti memiliki authority/power atau kekuasaan yang relatif luas.
Kedua, dalam pembagian kewenangan juga terjadi resentralisasi. Apabila dalam UU no. 22/1999 pemerintah daerah memiliki kewenangan bagi semua urusan pemerintahan kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintahan, kini pada UU no. 32 tahun 2004 hal itu tidak terdapat lagi. Kewenangan daerah bukan kewenangan pemerintah sepenuhnya tetapi dibagi dengan kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota.
Ketiga, Adanya penggabungan Fraksi di DPRD Hal ini terjadi karena dalam pembentukan fraksi harus mengacu pada jumlah kursi komisi di DPRD, sehingga apabila di DPRD terdapat 4 komisi maka jumlah fraksi harus pula 4 fraksi. Dan mereka yang dapat membentuk fraksi utuh adalah partai politik yang memperoleh minimal 5 kursi, bagi partai politik yang kurang dari jumlah tersewbut maka mesti bergabung dalam satu fraksi. Dan selain itu, selama ini yang berhak menduduki posisi pimpinan DPRD hanyalah partai politik yang menempati 3 suara terbanyak teratas dan kurang dari iti tidak berhak menempati posisi pimpinan di DPRD.