Sebuah bangunan bersejarah peninggalan Belanda yang terletak di kawasan Banyu Urip, Kelurahan Banyu Urip, Kecamatan Sawahan, Kota Surabaya, kini tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, kondisi bangunan tua ini sangat memprihatinkan, dengan atap dan dinding yang roboh, sehingga puluhan penghuni terpaksa mengungsi.
Yang Sukmono Catur, salah satu pengurus Gedung Setan, mengungkapkan bahwa gedung tersebut dulunya adalah Kantor Gubernur VOC di Jawa Timur yang dibangun sejak tahun 1809. Setelah VOC meninggalkan Indonesia, gedung ini beralih kepemilikan ke Dokter Teng Sioe Hie atau Teng Khoen Gwan.
“Pada tahun 1948, ketika terjadi pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pembantaian besar-besaran di Madiun, Dokter Teng Sioe Hie memutuskan untuk menjadikan gedung yang sudah tidak dihuni itu sebagai tempat penampungan sementara bagi keturunan Tionghoa,” jelas pria yang akrab disapa Antok, saat ditemui Basra di lokasi pengungsian warga Gedung Setan, Kamis (19/12) sore.
Sejak saat itu, puluhan keluarga Tionghoa telah tinggal di Gedung Setan secara turun-temurun hingga kini.
Antok menjelaskan bahwa nama “Gedung Setan” berasal dari lokasinya yang berada di tengah area pemakaman Tionghoa. Meskipun begitu, area pemakaman tersebut kini telah berkembang menjadi perkampungan padat penduduk.
“Setelah Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1948, Gedung Setan mulai dijadikan tempat pengungsian bagi masyarakat Tionghoa yang datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah,” ujar Antok.
Selain itu, julukan “Gedung Setan” juga disematkan karena kondisi bangunan yang sudah tua dan gelap. Sejumlah cat dan fasad gedung tampak mengelupas serta lapuk akibat usia yang sangat tua.
Gedung Setan berdiri di atas lahan seluas 400 meter persegi, dengan total 40 ruang yang digunakan sebagai kamar. Bangunan ini memiliki tembok tebal hampir 50 cm dan usianya mencapai dua abad.