Perang yang meletus antara Iran dan Israel bukan hanya mengguncang Timur Tengah, tetapi juga menciptakan guncangan yang dalam bagi dunia jurnalisme. Dalam situasi konflik bersenjata, pewarta menjadi saksi bisu dari kebrutalan, propaganda, dan sering kali ketidakberdayaan manusia di tengah kekuasaan senjata.
Dari kacamata jurnalis independen, konflik ini menyisakan tiga dampak utama yang perlu disorot dengan jujur dan lantang.
Pertama, perang merampas ruang bagi kebenaran.
Ketika peluru menyalak dan bom berjatuhan, narasi dengan cepat dibentuk oleh kekuatan politik dan militer. Jurnalis yang berupaya mengangkat fakta dari lapangan sering kali dibungkam, disensor, bahkan diancam. Di kedua sisi, media menjadi alat propaganda, bukan lagi penjaga nurani publik. Dalam perang ini, siapa yang menguasai narasi sering dianggap menang, meski nyawa manusia jadi taruhannya.
Kedua, jurnalis di garis depan berada dalam bahaya nyata.
Meliput perang di kawasan seperti Gaza, Lebanon, atau perbatasan Iran-Israel bukan hanya soal nyali, tapi juga risiko kehilangan nyawa. Banyak rekan jurnalis yang telah gugur, ditahan, atau dinyatakan hilang hanya karena menjalankan tugasnya yaitu memberitakan kenyataan. Ironisnya, dunia terkadang lebih cepat percaya pada narasi dari ruang konferensi pers ketimbang dari pewarta yang berdarah di medan tempur.
Ketiga, perang ini mempersulit publik untuk memahami konteks yang utuh.
Polarisasi informasi membuat masyarakat terjebak dalam dikotomi yaitu siapa yang “jahat” dan siapa yang “benar”. Jurnalis independen justru berada dalam posisi sulit karena dianggap tidak berpihak, padahal kebenaran tidak pernah berpihak, ia hanya ada atau tidak ada.
Dalam konflik seperti ini, tugas jurnalis bukan hanya menyampaikan berita, tapi juga memperjuangkan ruang publik yang bebas dari manipulasi. Seorang jurnalis ditengah konflik tidak mencari sensasi, melainkan mencari kejujuran. Karena di tengah reruntuhan bangunan dan jeritan korban, selalu ada cerita yang harus didengar, tanpa sensor dan tanpa intimidasi.
Konflik bersenjata ini tidak hanya merusak kota dan membunuh warga, tapi juga mengguncang sendi-sendi ekonomi global. Ketegangan di Timur Tengah mengancam jalur distribusi minyak dunia, terutama di kawasan Teluk dan Selat Hormuz, tempat lebih dari 20% pasokan minyak global melewati setiap harinya.
Lebih dari itu, ketidakpastian membuat investor menunda ekspansi, pelaku usaha menahan produksi, dan negara-negara kecil harus menambah utang untuk menjaga stabilitas. Sekali lagi, masyarakat biasa adalah bukan pemimpin perang yang harus menanggung beban paling berat. Dampak terhadap Ekonomi, Krisis Tak Terlihat Tapi Terasa.
Saya sepakat jika kita menyerukan solidaritas global bagi jurnalis di medan perang. Dunia harus sadar bahwa ketika seorang jurnalis dibungkam dan gerakan ekonomi tak tak menentu, sejatinya masyarakatlah yang kehilangan hak semua itu.
Perang Iran vs Israel adalah ujian besar yang bukan hanya bagi pemimpin dunia, tetapi bagi integritas jurnalisme itu sendiri, dan kita tak boleh gagal.
Opini oleh: Jeffry Noviansyah
Pemred Lampung7.com dan LAMPUNG7 TV