Sebagian besar orang meyakini ini adalah buntut dari kemunduran militer dalam beberapa bulan belakangan. Berbagai kelompok anti-pemerintahan bersatu dan mengalahkan militer di sejumlah area kunci.
“Sungguh omong kosong untuk mengabdi ke militer pada saat ini. Kita tidak sedang melawan penjajah asing. Kita saling bertarung. Kalau kami bergabung ke militer, kami akan ambil bagian dalam kejahatan mereka,” Robert, seorang aktivis berusia 24 tahun, mengatakan kepada BBC.
Kebanyakan pemuda kini berupaya untuk meninggalkan Myanmar.
“Saya tiba pukul 03:30 [20:30 GMT] dan sekitar 40 orang sudah antre untuk ambil token buat mengajukan visa,” tutur seorang remaja putri yang menjadi bagian dari kerumunan orang di Kedubes Thailand di Yangon awal Februari.
Menurut dia, dalam waktu satu jam saja jumlah orang bertambah dari sekitar 40 menjadi lebih dari 300 orang.
“Saya takut kalau menunggu lebih lama lagi, kedutaan akan menangguhkan pemrosesan visa karena situasi kacau,” tambah remaja putri itu kepada BBC. Dia mengklaim beberapa orang harus menunggu tiga hari sebelum memperoleh nomor antrean.
Kota Mandalay menjadi saksi kematian dua orang di depan kantor imigrasi. BBC mendapat laporan bahwa orang-orang juga mengalami luka serius – salah satunya menderita patah kaki setelah jatuh ke gorong-gorong sementara satu korban giginya patah. Enam orang lain mengaku kesulitan bernapas.
Eksplorasi konten lain dari LAMPUNG 7
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.