Pada Oktober silam, rezim menderita kemunduran paling besar semenjak kudeta.
Aliansi pemberontak etnis menyerbu puluhan pos militer di sepanjang perbatasan dengan India dan China. Junta juga kehilangan wilayah yang luas setelah kemenangan pemberontak di sepanjang perbatasan Bangladesh dan India.
Pemerintahan Persatuan Nasional – mereka menamai diri sebagai pemerintah Myanmar dalam pengasingan – menyatakan lebih dari 60% wilayah Myanmar sekarang berada di bawah kendali pasukan perlawanan.
“Dengan mengumumkan wajib militer secara paksa setelah serangkaian kekalahan besar nan memalukan dari kelompok perlawanan, militer secara terbuka menunjukkan betapa putus asanya mereka,” kata Jason Tower, direktur program Burma di United States’ Institute of Peace.
Tower memperkirakan wajib militer ini akan gagal karena meningkatnya kebencian terhadap junta.
“Banyak kaum muda yang ingin menghindari wajib militer tidak akan punya pilihan lain selain kabur ke negara tetangga. Ini akan memperparah krisis kemanusiaan dan pengungsi. Ini bisa menumbuhkan rasa frustrasi di Thailand, India, China, dan Bangladesh, dan semua ini bisa menghapus sisa-sisa dukungan terhadap junta,” ujar Tower.
Tower menambahkan bahwa sekalipun militer mampu menambah anggota militer, ini tidak akan membantu krisis semangat juang yang ada. Selain itu, butuh waktu bulanan untuk menggembleng pasukan baru.
Ye Myo Hein, peneliti global di Woodrow Wilson International Center for Scholars, menyebut junta punya sejarah panjang “perekrutan paksa” bahkan sebelum UU itu disahkan.
“Jadi UU itu hanya sekadar pencitraan padahal sebenarnya anggota baru dipaksa wajib militer. Dengan sangat minimnya anggota yang ada, tidak ada lagi waktu untuk menunggu proses perekrutan tentara baru yang panjang dan bertahap. Ini mendorong [pejabat] untuk memanfaatkan hukum guna memaksa orang ikut militer dengan cepat,” ujarnya.
Eksplorasi konten lain dari LAMPUNG 7
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.